Kamis, 29 Maret 2012

Warisan


 
 Oleh : Abdul Rahman

Empat tahun lalu, aku mengunjungi tanah kelahiranku di sebuah desa bernama Pakatto.
Letaknya di pedalaman kabupaten Gowa. Kedatanganku ini adalah yang pertama sejak ibuku
meninggal delapan tahun lalu. Aku lahir dan menghabiskan masa kecil disini. Namun saat
umurku belum genap enam tahun, orang tuaku membawaku dan kedua adikku merantau ke
Kalimantan.

Keluargaku punya banyak kenangan disini. Kakekku adalah tentara yang ditempatkan di
desa ini. Ayah dan ibuku pun bertemu disini. Khusus ibu, hampir seluruh penduduk di desa ini
mengenalnya. Sebab ibu, seperti halnya wanita Bugis kebanyakan, gemar sekali membantu bila
ada hajatan. Entah itu membantu memasak, meminjamkan peralatan dapur, bahan makanan dan
lain-lain. Boleh dikata, ibu selalu hadir bila ada tetangga yang punya hajatan.

Nah, setelah lebih dari tiga belas tahun merantau, aku kembali. Aku ingin menyambung
kembali tali silaturahmi yang dulu pernah dirajut oleh keluargaku. Hanya saja aku mungkin tak
lagi mengenal mereka. Begitu pula sebaliknya.

Singkat kisah aku pun tiba. Oleh keluarga di Kalimantan aku diberi alamat rumah yang
bisa ku kunjungi. Seorang wanita renta menyambutku. Dari raut wajahnya aku tahu Ia tak
mengenalku. Ku katakan bahwa aku anak dari Djusni, ibuku. Seketika Ia meneteskan air mata
dan merangkulku. Aku bingung, kenapa harus sehisteris itu?

Ia lalu mengisahkan, betapa ibuku adalah sosok yang disayangi di kampung ini. Sembari
menyeka air mata, wanita renta yang kupanggil Nenek Haji itu bercerita, betapa penduduk desa
merasa kehilangan semenjak kematian ibu. Ia juga bercerita masa-masa sulit keluargaku dulu.
Bahkan beras pun kami harus ‘mengutang’ ke tetangga. Namun karena ibu senantiasa menolong,
para tetangga pun ikhlas membantu.

Empat tahun berselang, aku kembali ke tanah perantauanku. Sembari menikmati libur
kuliah, aku menyempatkan diri mengunjungi beberapa tetangga dulu. Salah satunya pak Lamidi.
Dulu Ia adalah tetanggaku, namun kemudian pindah karena tak tahan dengan cibiran tetangga
lain. Sebabnya adalah karena Ia miskin dan pengangguran. Namun kini Ia telah sukses. Punya
perkebunan luas dan beberapa rumah.

Saat bertemu denganku, Ia langsung memelukku. Pipiku dipegangnya seolah-olah aku
adalah anaknya yang telah lama hilang. Ia bercerita bahwa dirinya dulu adalah pengangguran
paling dekil di sekitar tempat tinggal kami. Hanya ibuku yang sudi menolong mereka. Ah, betapa
aku bangga akan kebaikan hati ibu.

Aku teringat kisah salah seorang kerabat yang ditinggal mati oleh ayahnya. Urusan harta,
mereka boleh dikata cukup. Tanah dimana-mana, sawah luas dan rumah mewah. Namun ketika
sang ayah meninggal, anak-anaknya justru sibuk berebut warisan. Bahkan saat tanah kubur
belum kering, mereka sudah ribut mengungkit-ungkit pembagiannya.

Kuakui, keluargaku mungkin tak seberuntung mereka. Berharap warisan harta mungkin
hanya bayang-bayang semata. Beruntung aku banyak belajar dari kedua orang tuaku tentang
ketulusan memberi. Aku belajar bagaimana bertetangga. Memperlakukan tetangga lebih dari
saudara.

Aku berpikir, mungkin bila ibu meninggalkan warisan harta, aku bisa saja berlaku seperti
kerabatku. Namun Allah Maha Adil. Ia memanggil ibu, setelah ibu menyiapkan warisan yang
jauh lebih berharga dari sekedar harta. Ibu pergi dengan mewariskan kebaikan hati.

3 komentar:

  1. tersentuh hati ini baca postingan ini....

    hutan harta boleh di bayar, tapi hutan budi di bawa mati,
    macan mati meningalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama....

    aku jadi bertanya seperti pertanyaan yang sma yang pernah di lontarkan Keke dalam film Surat Kecil Untuk Tuhan " aku ingin tahu, kalau aku mati nanti, bagaimana orang akan mengenangku?"

    BalasHapus
  2. Makasih atas komentarnya,..

    Ini emang kisah nyata teman saya..Warisan terbaik adalah kebaikan.

    BalasHapus
  3. :) kebaikan lebih abadi daripada harta, nice posting.

    BalasHapus