Senin, 02 April 2012

Kekuatan Cinta dalam Perbedaan


Oleh: Laparoki

Seringkali kita tidak adil menggeneralisasikan pandangan dan hukuman terhadap
pemeluk suatu terhadap sesuatu hal. Dengan perbedaan itu kemudian kita mutlakkan
pandangan kita dan menunding orang lain sebagai kafir. Sementara perbedaan pandangan
dan penghayatan merupakan sunnahtullah sebagai perwujudan dari akal sehat kita yang telah
diberikan oleh Tuhan yang memiliki kapasitas yang berbeda-beda pula.
Logikanya, adanya perbedaan kapasitas akal sehat itu maka sudah pasti pula bahwa
pemahaman dan penghayatan menjadi berbeda-beda dan bertingkat. Walau kebenaran itu satu
yang sumbernya dari Tuhan akan tetapi kapasitas manusia berbeda-beda sekali lagi. Ini yang
perlu dicamkan sehingga kita tidak emosi dan cenderung memaksakan orang lain untuk sama
pemahaman dann pandangan dengan kita. Biarkanlah waktu yang memproses kita semua
bahwa apakah pada akhirnya selamanya akan berbeda ataukah suatu waktu kita akan menjadi
satu. Semua itu akan terkait sejauh mana proses yang akan kita alamai pada dimensi ruang
dan waktu sekaligus refleksi pemaknaan dari dimensi tersebut.
Sekadar mengingatkan sebuah kisah dari sufi besar Jalaluddin Rumi tentang ‘orang
buta dan seekor gajah’. Ada pula hadis qudsi tentang Nabi Musa dan Seorang
Pengembala. Alkisah: Pada zaman dahulu, hidup seorang gembala yang bersemangat bebas.
Dia tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk memilikinya. Yang dia miliki
hanyalah hati yang lembut dan penuh keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan
kepada Tuhan. Sepanjang hari dia mengambalakan ternaknya melewati lembah dan ladang
melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya. “Duhai Pangeran tercinta,
dimanakah Engkau, supaya aku bisa persembahkan seluruh hidupku pada-Mu? Dimanakah
Engkau, supaya aku bisa menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku
hidup dan bernafas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan dombaku ke
hadapan kemuliaan-Mu.”
Suatu hari, Nabi Musa a.s. melewati padang gembala dalam perjalanannya menuju
kota. Ia memerhatikan sang gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala
yang mendongak ke langit. Sang gembala menyapa Tuhan, ”Ah, dimanakah Engkau,
supaya aku bisa menjahit baju-Mu, memperbaiki kasut-Mu, dan mempersiapkan ranjang-
Mu? Dimanakah Engkau, supaya aku bisa menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu?
Dimanakah Engkau, supaya aku bisa mengilap sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk
minuman-Mu?”
Musa mendekati gembala itu dan bertanya, ”Dengan siapa kamu bicara?” Gembala
menjawab, ”Dengan Dia yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang
menguasai siang dan malam, bumi dan langit.” Musa murka mendengar jawaban gembala
itu, “Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu! Apa yang kamu ucapkan adalah
kekafiran. Kamu harus menyumpal mulutmu dengan kapas supaya kamu bisa mengendalikan
lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung
dengan kata-katamu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara
seperti itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini
akibat dosa-dosamu!”
Sang gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara
adalah seorang nabi. Dia bergetar ketakutan. Dengan air mata yang mengalir membasahi
pipinya, dia mendengarkan Musa yang terus berkata, “Apakah Tuhan adalah seorang manusia
biasa, sehingga Dia harus memakai sepatu dan kaus kaki? Apakah Tuhan seorang anak kecil,
yang memerlukan susu supaya Dia tumbuh besar? Tentu saja tidak. Tuhan Maha Sempurna di
dalam diri-nya. Tuhan tidak memerlukan siapapun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti
itu, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan

Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau
masih memiliki otak yang sehat!”
Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada
Tuhan adalah kata-kata yang kasar. Dia juga tak mengerti mengapa Nabi yang mulia telah
memanggilnya sebagai seorang musuh, tapi dia tahu betul bahwa seorang nabi pastilah lebih
mengetahui dari siapapun. Dia hampir tak bisa menahan tangisnya. Dia berkata kepada
Musa, “Kau telah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini aku berjanji akan mengatupkan
mulutku untuk selamanya.” Dengan keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan
ternaknya menuju padang pasir.
Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Nabi
Musa a.s. melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba Allah yang Maha Kuasa
menegurnya, “Mengapa engkau berdiri diantara Kami dengan dengan kekasih Kami yang
setia? Mengapa engkau pisahkan pencinta dari yang dicintainya? Kami telah mengutus
engkau supaya engkau bisa menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan
ikatan diantaranya.” Musa mendengarkan kata-kata langit itu dengan penuh kerendahan dan
rasa takut. Tuhan berfirman, “Kami tidak menciptakan dunia supaya Kami memperoleh
keuntungan darinya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri.
Kami tidak membutuhkan pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau
pengabdian.
Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah
yang mereka lakukan. Ingatlah di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak
memiliki makna apa-apa. Kami tidak memerhatikan keindahan kata-kata atau komposisi
kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan
cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami, walau pun kata-kata mereka
bukan kata-kata yang indah . Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata-kata tidak
mempunyai makna.”
Suara dari langit selanjutnya berkata, “Mereka yang terikat dengan basa-basi
bukanlah mereka yang terikat dengan cinta. Dan umat yang beragama bukanlah umat
yang mengikuti cinta. Karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri.”
Tuhan kemudian mengajarkan Musa rahasia cinta. Bukankah quran mengatakan:” Wahai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan
kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap
suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati
ketakwaan.” (QS. Al Maa’idah: 8)

1 komentar: