Biografi Machiavelli
Machiavelli adalah anak zaman
Renaisans. Ia lahir tahun 1467 dan dibesarkan di kota Florence, Italia. Ayah
Machiavelli adalah Bernardo Machiavelli yang merupakan seorang ahli hukum yang
berasal dari keluarga bangsawan. Kekaguman ayahnya terhadap sejarah masa-masa
klasik yunani dan romawi seperti karya klasik Cicero, Philipus, Moral
Obligation, dll. Ternyata diwariskan oleh anaknya yaitu Machiavelli.
Pada usia enam tahun ia sudah mempelajari bahasa latin,
kemudian pada usia 12 tahun belajar ilmu-ilmu kemanusiaan dibawah asuhan Paulo
Ronsiglione. Rongsiglione mengajarkan pemikiran humanisme yakni tokoh-tokoh
termahsyur humanis pada zaman Machiavelli. Dalam catatan harian Bernardo di
tahun 1481 menuliskan mengenai Machiavelli bahwa dalam usia 14 tahun ia telah
mampu menulis dengan karangan dalam bahasa latin dengan meniru gaya penulisan
klasik. Kemudian ia belajar di Universitas Florence. Ia mempelajari
kajian-kajian klasik dari Marcello andriani. Setelah belajar beberapa tahun
dari andriani kemudian ia menjabat di suatu jabatan terhormat di Italia pada
masa itu.
Pada usia 25 tahun Machiavelli
menyaksikan perjuangan Girolamo Sanovonarola. Dia adalah seorang politikus
moralis yang membela kaum miskin dan melawan orang-orang kaya. Machiavelli
sangat terpukau dengan fanatisme dan ketegaran sikap politik Sanovonarola
menghadapi penguasa tiran Italia. Tapi sayang perjuangan Savonarola gagal,
Machiavelli menyaksikan kegagalan perjuangannya itu. Kegagalan perjuangan
Savonarola memurnikan moralitas kerana tidak memiliki kekuatan politik dan
kekuatan militer.
Dalam karir politiknya, Machiavelli
pernah menjadi diplomat, suatu jabatan politik yang memberikannya pengalaman
kenegaraan yang kaya. Ia dikirim ke berbagai Negara tetangga untuk melaksanakan
misi diplomatik. Karena kecerdasan, kesungguhan dan kepiawannya dalam
berdiplomasi, ia dinilai berhasil mengemban tugasnya. Karirnya dibidang
diplomatic diakuinya memberikan pegalaman politik yang kaya.
Keberhasilannya itu nampak,
sebagaimana dituliskan oleh Rapar dalam laporan-laporan tugas yang dibuatnya
untuk penguasa Italia. Laporan tersebut menunjukan kecerdasan, kecermatan, dan
kejeliannya sebagai pengamat [politik dan diplomasi ulung. Machiavelli juga
mampu manila secara cepat dan tepat menentukan pusat kekuatan dan kelemahan
lawan maupun korps diplomatiknya dalam setiap situasi.
Pada agustus 1499, ketika Machiavelli
berusia 28 tahun, terjadi peristiwa Vitelli. Vitelli adalah nama seorang
pemimpin tentara bayaran. Ia disewa pemerintah Florence untuk merebut
pisa. Tetapi karena orang-orang Pisa memberikan bayaran lebih besar dari
pemerintah Florence, mereka menghentikan serangan terhadap Pisa. Ini merupakan
peristiwa memalukan bagi rakyat dan Negara Italia. Bagi Machiavelli sendiri
peristiwa ini memberikan pelajaran berharga bahwa suatu Negara seperti Italia
harus memiliki tentara sendiri.
Tentara hebat seperti apapun tidak
bisa dipercaya karena mudah berkhianat. Dan akan jauh lebih menyenangkan apabila
kalah dalam peperangan dengan memakai tentara sendiri daripada menang tapi
menggunakan tentara bayaran ( tentara asing ). Maka menurut Machiavelli, Italia
harus mampu membentuk angkatan perang sendiri yang tangguh, loyal dan mampu
berjuang mati-matian demi Negara Italia. Hanya dengan memiliki angkatan perang
yang tangguh maka Italia akan di segani oleh Negara-negara lawannya.
Machiavelli pun kemudian menyadari
bahwa manifestasi fisik kekuasaan politik Negara tidak lain adalah kekuatan
militer yang tangguh. Pandangan inilah yang kemudian menjadi dasar dari
pemikiran realisme yang dikembangkan oleh Machiavelli dalam teori-teorinya
mengenai Negara, kekuasaan dan perang antar Negara.
Pemikiran Politik Machiavelli
Karir Machiavelli sebagai politikus
dan diplomat berfakhir ketika ia diberhentikan dari jabatannya oleh penguasa
Italia, meskipun secara pribadi tokoh resains ini masih berkeinginan
berkecimpung di dunia politik kenegaraan. Setelah diberhentikan dari jabatan
politik oleh penguasa Lorenzo de Medici, Machiavelli memulai hidupnya sebagai
seorang pemikir. Hari-harinya hanya dihabiskan untuk membaca karya-karya
klasik, berefleksi dan menulis.
Ia merefleksikan semua pengalaman
politiknya dan akumulais pengetahuan kemanusiaannya itu dalam karya-karya intelektualnya.
Ketika itu Machiavelli merasa memasuki istana purba dari orang-orang purbakala
untuk berbincang-bincang dengan mereka dan menanyakan alasan tindakan-tindakan
mereka. Ia berdialog dengan masa lampau dan menyerap pengalaman sejarah masa
purbakala menjadi bagian kekayaan intelektualnya.
Ketika Machiavelli merefleksikan
pemikiran dan pengalaman politik dalam bentuk tulisan, ia juga dipengaruhi oleh
kondisi ekonomi dan politik negaranya. Max Lerner melukiskan kedaan Machiavelli
demikian, “ia tinggal pada masa ketika pertumbuhan ekonomi telah berkembanhg
jauh sehingga menimbulkan ikatan-ikatan bentuk politik yang ada saat ini.”
Machiavelli juga dipengaruhi oleh
situasi-situasi politik zamannya, terutama kemunculan gerakan-gerakan
sentrifugal untuk membentuk Negara bangsa. Ia sangat cemas dengan gelombang
disintegrasi yang melanda Italia. Negaranya berada di ambang pintu kehancuran.
Machiavelli sangat terpengaruh oleh gerakan itu. Oleh sebab itu, obsesinya
adalah bagaimana membentuk Italia menjadi suatu Negara nasional yang bersatu
dan kuat. Semasa pengasingan intelektual inilah lahir karya-karyanya :
-
History of Florence ( Sejarah Kota Florence )
-
Art
of War ( Seni Perang )
-
Dialogue
on Languange ( Dialog Bahasa )
-
The
Prince and The Discourses
Karyanya yang sangat menumental adalah
The Prince and the Discorses, dengan
karyanya itu ia dikenal sebagai seorang ilmuwan politik Renaisans, dengan
membaca karyanya The Prince tersebut
akan menimbulkan kekaguman, karena teori-teori politik kekuasaan yang
diungkapkan Machiavelli dalam karyanya itu tetap relevan dengan konteks politik
kekuasaan yang dihadapinya saat ini. Machiavelli juga menempatkan dirinya
sebagai pakar politik kekuasaan melalui karyanya tersebut. Bahkan Max Lerner
juga menyebutnya “bapak politik kekuasaan”.
Penguasa Negara dan Kekuasaan
Penguasa Negara dan Kekuasaan
Bagi Machiavelli kekuasaan adalah
raison d’etre Negara. Negara juga merupakan simbolisasi tertinggi kekuasaan politik
yang sifatnya mencakup semua dna mutlak. Machiavelli memiliki obsesi terhadap
Negara kekuasaan dimana kedaulatan tertinggi terletak pada kekuasaan penguasa
dan bukan rakyat dan prinsip-prinsip hukum.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan
seorang penguasa, Machiavelli membahas perebutan kekuasaan ( kerajaan ). Bila
seorang penguasa berhasil merebut suatu kerajaan maka ada cara memerintah dan
mempertahankan Negara yang baru saja direbut itu, yaitu :
1. Memusnahkannya sama sekali dengan
membungihanguskan Negara dan membunuh seluruh keluarga penguasa lama.tidak
boleh ada yang tersisa dari keluarga penguasa lama sebab hal itu akan
menimbulkan benih-benih ancaman terhadap penguasa baru suatu saat kelak.
2. Dengan melakukan
kolonisasi, mendirikan pemukiman-pemukiman baru dan menempatkan sejumlah besar
infantri di wilayah koloni serta menjalin hubungan baik dengan Negara-negara
tetangga terdekat. Dari kedua cara tersebut, menurut Machiavelli cara pertama
adalah cara yang paling efektif meski bertentangan dengan aturan moralitas.
Machiavelli berpendapat bahwa penguasa
Negara bia menggunakan cara binatang terutama ketika menghadapi lawan-lawan
politiknya. Dalam The Prince dikemukakan bahwa seorang penguasa bisa menjadi
singa disuatu saat, dan menjadi rubah di saat lainnya. Menghadapi musuhnya yang
ganas bagai seekor serigala, penguasa hendaknya bias berperang seperti singa,
karena dengan cara itulah ia bisa mengalahkan lawannya.
Bertitik tolak dari premis itu,
Machiavelli berpendapat bahwa seorang penguasa ideal adalah Archilles yang
belajar jadi penguasa dari Chiron. Chiron adalah makhluk berkepala manusia,
berbadan dan berkaki kuda dalam mitologi Yunani Kuno. Artinya seorang penguasa
harus memiliki watak manusia dan watak kebinatangan pada saat yang sama. Machiavelli
menulis bahwa dengan belajar dari makhluk seperti Chiron penguasa diharapkan
bisa mengetahui bagaimana menggunakan sifat manusia dan sifat binatang.
Menggunakan salah satu cara berkuasa tanpa cara lainnya tidak akan berhasil.
Demokrasi
Machiavelli meletakkan demokrasi di
tempat terburuk, dan tirani di tempat terbaik dalam hirarki bentuk negara
menurut pemikirannya. Hal berdasarkan pemikiran realis klasiknya yang
berlebihan, ia beranggapan negara akan mengalami kejayaan manakala pemimpimnya terlepas
dari nilai moral dan etika yang dulu pada abad pertengahan pernah
diagung-agungkan. Akan tetapi, dalam lingkaran pemikirannya Machiavelli
menyiratkan salah satu nilai demokrasi, yakni kebebasan individu.
Menurutnya, kebebasan individu
disediakan sepanjang tidak mengganggu keselamatan dan stabilitas tatanan
politik. Walaupun Machiavelli tidak secara eksplisit menunjukkan nilai-nilai
demokrasi, ia telah memulai anggapan bahawa sebenarnya nilai demokrasi itu
tetap digenggam dalam bentuk negaranya. Akan tetapi, tetap, monarki absolut
berada di tataran tertinggi bentuk negara terbaik berdasarkan pemikirannya.
Pemikiran ini selaras dengan Thomas
Hobbes. Meninggalkan pemikiran ekstrem Machiavelli, Thomas Hobbes, meletakkan
demokrasi di tempat terburuk, dan monarki di tempat tertinggi dalam hierarki
bentuk negara sesuai dengan pemikirannya. Menurutnya pemerintahan akan
sebaik-baiknya dijalankan jika kekuasaan terpusat pada satu orang saja. Akan
tetapi, meletakkan adanya kewenangan dalam menjalankan kekuasaan tersebut.
Kewenangan tersebut diperoleh dari
kontrak sosial dimana sekelompok orang secara pasrah dan sadar memberikan
seluruh kekuatan politiknya pada orang di luar kelompok mereka. kontrak sosial
memiliki kemiripan struktur dengan bentuk negara demokrasi saat ini. Kemiripan
tersebut dapat ditelusuri pada periode pemikir barat selanjutnya, yakni JJ
Russeau melalui penerbitan lembaga-lembaga pemerintahan atau biasa dikenal
dengan distribusi kekuasaan.
Nilai Utilitarianisme Politik Agama
Nilai Utilitarianisme Politik Agama
Machivelli melihat agama dari sudut
pragmatism dan kepentingan politik praktis. Agama memiliki makna bila berguna
bagi kepentingan politik kekuasaan. Tidak penting bagi Machiavelli apakah dari
segi doktrin dan ajaran agama itu benar atau salah. Machiavelli tidak tertarik dengan
kebenaran suatu agama, atau asal muasal agama itu, dalam hal ini kita bisa
mengakategorikan Machiavelli sebagai penganut utilitarianisme pragmatisme.
Dengan cara pandang itulah ia
berkesimpulan bahwa agama Kristen kering dan tak bermakna dibandingkan dengan
agama-agama kuno bangsa romawi. Agama romawi kuno menurutnya lebih bersifat
intregratif jika dibanding agama Kristen. Agama itu berhasil memersatukan
Negara, membina loyalitas, kepatuhan dan ketundukan rakyat terhadap otoritas
penguasa romawi. Itu dikemukakannya dalam bukunya The Discourse. Dalam
tulisannya ia menyatakan bahwa agama berhasil membuat keberingasan rakyat
menjadi kepatuhan, dan agama juga merupakan alat yang diperlukan untuk
memelihara suatu Negara yang beradab dan telah menciptakan kejayaan
romawi.
Ringkasnya adalah bahwa dalam
pandangannya mengenai agama dan penguasa baginya tetap tidak harus dipisahkan.
Wibawa penguasa tanpa agama tidak cukup menjamin lestarinya persatuan dan
kesatuan. Itu berarti agama tidak dapat dilepaskan dalam proses politik. Akan
tetapi rasa simpatiknya terhadap agama romawi kuno sangatlah besar tapi
sebaliknya sinis dan antipasti terhadap agama Kristen. Dengan kata lain
dapat disimpulkan bahwa watak sesungguhnya dari seorang Machiavelli adalah
merupakan pecinta tanah air yang kuat, nasionalis tulen yang berkobar-kobar,
politikus dan demokrat yang yakin serta penyelidik tanpa perasaan sekalian
orang yang sinis.
Ia merupakan sosok yang terlalu
praktis untuk menjadi filosof yang teliti, akan tetapi di dalam politik ia
memiliki pandangan terluas dan pengetahuan yang paling jelas mengenai arah-arah
umum daripada perkembangan Eropa. Yang jelas ia hanya menulis dan berpikir
tentang politik, seni memerintah, dan cara-cara berperang terhadap masalah
masyarakat yang lebih dalam.
0 komentar:
Posting Komentar